Artikel Terbaru »
Pendidikan Sekarang Banyak Menyimpang
Jumat, 18 Juni 2010

Banyak faktor yang bisa mendukung peningkatan pendidikan. Faktor-faktor tersebut harus terkait satu sama lain. Jika salah satu faktor tak dipenuhi, maka mutu pendidikan akan berjalan tak seimbang.

Hal itu disampaikan Nur Hidayat, narasumber tunggal pada seminar refleksi pendidikan dalam perspektif Nahdlatul Ulama. Seminar dilaksanakan di gedung serba guna pertokoan Soponyono, Kraksaan, kemarin (17/6).
div class="fullpost">

Acara diawali dengan pelantikan PC. IPNU Kraksaan masa bakti 2010-2011. selnajutnya, digelar seminar pukul 09.00 WIB dan berlangsung sekitar 2 jam

Menurut Hidayat, faktor-faktor pendukung peningkatan pendidikan, di antaranya sumber daya manusia (SDM) tenaga pengajar. Ada juga biaya atau anggaran, bimbingan orang tua dan lingkungan. Faktor-faktor tersebut menurut Hidayat mutlak dipenuhi. "Kurang satu, ada saja efeknya," ujar Hidayat.

Hidayat lantas mencontohkan masalah biaya. Sekarang menurutnya semua warga negara Indonesia sudah bisa menikmati pendidikan. Terutama pada masa SD/MI dan SLTP. Sebab, pendidikan di tingkat itu sudah gratis. "Jadi masalah biaya bukan lagi problem utama," ujar Hidayat.

Yang paling penting menurut Hidayat adalah faktor lingkungan. Saat ini pendidikan dia katakan sudah banyak menyimpang dari tujuan awal terbentuknya pendidikan itu sendiri.

Hidayat mengatakan, lingkungan yang ada sangat tidak menunjang terhadap hasil pendidikan. "Sebab masih banyak siswa yang terpengaruh lingkungan yang kehidupannya negatif," sebutnya.

Solusinya menurut Hidayat, ada pada bimbingan orang tua dan guru. Dia berpendapat, orang tua dan guru harus memantau perilaku anak dengan baik. Sebab, anak harus bisa dituntun keduanya. "Orang tua dan guru punya peran penting," ujar wakil sekretaris Tanfidziyah PWNU Jawa Timur itu.

Sementara ketua panitia Muhammad Amin menegaskan, seminar dihadiri sekitar 100 peserta. Di antaranya, PW IPNU Jawa Timur, ketua PC NU Kraksaan, DPD KNPI Kabupaten Probolinggo, IPPNU Cabang Kraksaan dan sejumlah organisasi pendidikan dan kepemudaan. Selain itu, organisasi siswa se-cabang Kraksaan juga turut serta.

Sementara ketua Cabang IPNU Kraksaan A. Muzammil mengatakan, seminar tersebut bertujuan sebagai bahan refleksi terhadap dunia pendidikan. Utamanya dalam menyikapi perkembangan pendidikan dan pelajar. "Sekarang pelajar mengalami kehilangan haluan," sebut Muzammil.

Muzammil berharap, seminar tersebut akan menguatkan eksistensi dunia pendidikan. Dengan demikian akan muncul semangat dari para pelajar untuk meningkatkan kemampuan. "Kemampuan dan skill pelajar harus bisa ditingkatkan," pungkas Muzammil.

sumber : http://www.jawapos.com/radar/index.php?act=detail&rid=165042


Kongres Bersama IPNU
Sudah bertahun-tahun sejak berdirinya, IPNU dan IPPNU, dua organisasi di lingkungan NU yang memiliki anggota dengan segmen usia yang sama, melaksanakan kongres secara terpisah, baik waktu maupun tempat. Hal semacam ini dipandang sebagai kontra produktif terhadap perjalanan masing-masing, mengingat penggabungan event-event yang bersifat nasional dari organisasi ini dipandang akan lebih memberikan daya tarik yang lebih besar kepada masyarakat, khususnya kepada media massa di tanah air yang saat itu sarat dengan polemik tajam antara kubu-kubu politik yang bertikai.


Perang dingin berlangsung di DPR-GR dan DPAS antara ABRI, NU dan PNI di satu sisi dengan PKI di sisi lain yang pada saat itu gencar meneriakkan Sosialisme Indonesia, Land Reform dan pembentukan Angkatan Kelima terdiri dari para petani dan buruh. Di tengah menguatnya figur Presiden Soekarno dan semakin besarnya pengaruh PKI atas kebijakan-kebijakan negara, NU melihat apapun bisa terjadi termasuk dibubarkannya organisasi berhaluan Aswaja ini. Sejak Dekrit Presiden yang disikapi secara defensif, tokoh-tokoh NU dihinggapi keprihatinan yang sangat mendalam: apakah NU masih boleh hidup atau tidak.

Mereka takut tergilas oleh Penpres no. 7 tahun 1959 dan Penpres no. 13 tahun 1960, tentang penyederhanaan partai dan syarat-syarat partai yang berhak hidup. Bahkan ada pula beberapa tokoh NU yang berpendapat agar kembali ke jam'iyah saja, mengurusi madrasah, panti asuhan, rumah sakit, pendidikan dan bidang-bidang sosial lainnya. Beberapa pengurus partai NU di daerah sampai-sampai menanyakan nasib partai NU dengan nada yang tampak frustrasi. Suasana kalut ini sangat beralasan, diantaranya mengingat NU pada awal tahun 60-an adalah kekuatan politik yang pertama kali menyatakan siap mengorbankan jiwa dan raga untuk membela kelangsungan hidup HMI yang terancam dibubarkan oleh presiden akibat hasutan CGMI.(28) Organisasi payung mahasiswa komunis ini menebar teror pengganyangan terhadap kekuatan mahasiswa yang dianggap kontra-revolusioner dan reaksioner.

Setelah sejumlah pimpinan NU menguras tenaga untuk memenuhi persyaratan sebagai partai yang berhak hidup, ditambah manuver-manuver politik yang cantik dari duet Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU, K.H. Abdulwahab Hasbullah dan K.H. Idham Chalid, NU berhasil ditetapkan sebagai salah satu dari 8 partai politik yang berhak hidup. Melalui penetapan presiden tanggal 15 April 1961, NU kembali melangkah dengan optimisme akan eksistensi organisasinya. Namun pada bulan-bulan penetapan itu pula terjadi pemusatan politik "poros Jakarta-Peking" yang membuat politik condong ke kiri. NU bersama kekuatan non-komunis lainnya senantiasa mengawasi langkah-langkah PKI yang betul-betul mendapat angin di bawah demokrasi terpimpin Presiden Soekarno. Melihat tindakan-tindakan politik PKI bersama seluruh underbouwnya sudah semakin keras dan berani, NU bersama seluruh badan otonom segera mengadakan konsolidasi organisasi untuk melakukan penghadangan di segala medan juang, seperti dikemukakan K.H. Saifuddin Zuhri:
"Perlawanan NU terhadap PKI dilakukan di semua medan juang. PKI menggerakkan massanya, NU mengorganisasi pemuda Ansor menjadi 'Banser' yang lebih militan. PKI menggerakkan Lekranya, NU mengaktifkan Lesbuminya. PKI menyanyikan lagu 'Genjer-Genjer' yang penuh hasutan dan sindiran, NU mengobarkan bacaan 'Shalawat Badar'..."(29)

Di tengah-tengah suasana politik yang semakin panas, IPNU-IPPNU bertekad untuk berdiri di belakang PBNU melakukan konsolidasi internal dengan mengadakan kongres secara bersama-sama di Purwokerto. Kongres V IPNU dan kongres IV IPPNU yang berlangsung pada bulan Juli 1963 berhasil memilih masing-masing Asnawi Latif dan Farida Mawardi sebagai ketua umum. Sedangkan sekjen terpilih IPPNU adalah Machsanah. Kongres Purwokerto ini menandai awal kerja paralel IPNU-IPPNU dalam setiap kongres dan konbes di masa-masa berikutnya. Pada kongres Purwokerto ini, khususnya di kalangan delegasi IPNU, usulan tentang pengubahan nama organisasi IPNU, termasuk penanggalan "NU" dalam nama organisasi masih disuarakan oleh beberapa peserta. Sehubungan dengan hal tersebut, maka kongres akhirnya memunculkan "Ikrar Bersama" anggota IPNU untuk tidak akan pernah mengubah nama "Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama" disingkat IPNU untuk selama-lamanya.(30)

Pada masa bakti 1963-1966 ini terjadi pemindahan sekretariat PP IPPNU dari Surakarta ke Yogyakarta. Sekretariat IPPNU yang semula di Jl. Imam Bonjol no. 35 (dulu Keprabon Wetan), Surakarta secara berangsur-angsur dipindahkan ke Jl. Gandekan Lor 45, Yogyakarta. Pada periode ini perluasan dan pembinaan cabang-cabang di luar Jawa masih diteruskan, diantaranya tourne ke Jambi dan Lampung. Untuk kelancaran komunikasi organisasi, diterbitkan pula majalah "Kartikawati" oleh Departemen Dakwah dan Penerangan yang berisi agenda kegiatan IPPNU. Dari sekian banyak, program kerja paling menonjol adalah pengusahaan beasiswa untuk segenap kader IPPNU, mengingat situasi ekonomi akibat kebijakan politik sedemikian parah.

Kebijakan politik mercusuar yang dicanangkan Presiden Soekarno dengan Nefo-Oldefo yang menemui puncaknya di Indonesia dengan diadakan Ganefo (Game of The New Emerging Forces), memaksa dicetaknya uang secara tidak terkendali. Harga seluruh kebutuhan pokok mengalami kenaikan tajam dan inflasi meroket hingga di atas 600 %. Antrian panjang kebutuhan pokok menjadi pemandangan sehari-hari di jalan-jalan, sementara rakyat dicekoki dengan agitasi menentang neo-kolonialisme dan imperialisme yang secara terus-menerus dikumandangkan melalui media cetak dan elektronik. Keadaan ini dimanfaatkan oleh PKI untuk semakin memperluas jaringan dan kekuatan massanya ke seluruh pelosok tanah air. Pada tahun 1964, PKI dan seluruh kekuatan komunis dalam melakukan aksi-aksinya semakin kasar, keras, dan radikal. Gerakan yang terkenal dengan "Aksi Sepihak" ini dilakukan oleh kader-kader Barisan Tani Indonesia (BTI) dengan secara sepihak memaksa pembagian tanah dan hasil pertanian kepada petani-petani di berbagai desa khususnya di Jawa. Kenyataan ini membuat perlawanan dari kekuatan politik lain, khususnya NU semakin keras. Kekuatan NU terdiri dari Pertanu, Lesbumi, Sarbumusi, Fatayat, Muslimat, IPNU, IPPNU, PMII dan Pemuda Ansor bersama Bansernya telah disiapkan oleh PBNU melalui instruksi-instruksi harian untuk menghadapi kemungkinan terburuk, yaitu pemberontakan PKI. Kewaspadaan ini bukan tidak beralasan, mengingat sejak berdiri, PKI sudah pernah mengadakan pemberontakan bersenjata kepada Republik Indonesia melalui "Madiun Affair" pada tahun 1948.

Konsolidasi IPNU-IPPNU sendiri dilakukan dengan mengadakan konperensi besar di Pekalongan, Jawa Tengah. Konbes III IPNU dan konbes I IPPNU -yang dilaksanakan bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda itu- menelurkan "Doktrin Pekalongan" yang memberikan landasan idiil, khususnya butir 4, bagi IPNU-IPPNU untuk segera melakukan aktualisasi perjuangannya, ketimbang hanya sekedar mengeluarkan seruan, resolusi, deklarasi, dan konsepsi ideal lain. Melalui doktrin itu, IPNU-IPPNU menegaskan bahwa Pancasila bukan hanya sekedar alat pemersatu tetapi juga merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia yang memiliki kedudukan jauh lebih tinggi daripada Manifesto Komunis maupun Declaration of Independence.

Konbes juga menjawab isu yang sempat berkembang mengenai disatukannya keorganisasian IPNU dan IPPNU. Disebutkan dalam doktrin tersebut:

... bahwa perpisahan organisasi antara IPNU dan IPPNU bukanlah suatu faktor yang dapat dijadikan sebab kemacetan dan terhambatnya perkembangan kedua organisasi dalam segala aspeknya, bahkan menunjukkan progresivitas dan emansipasi yang dibenarkan, yang oleh karenanya mengadakan peleburan dalam artian fusi dari kedua organisasi tersebut dipandang sangat tidak perlu dan tidak dibenarkan, di samping itu mengadakan integrasi dalam artian kerja sama perlu diintensifkan.(31)

Doktrin tertanggal 28 Oktober 1964 itu dideklarasikan bersama oleh IPNU dan IPPNU, masing-masing diwakili oleh Asnawi Latief dan Farida Mawardi yang menjabat sebagai ketua umum. Hasil yang nyata dari doktrin tersebut adalah dibentuknya "Corps Brigade Pembangunan" (CBP) yang bertugas menghimpun putra-putri NU untuk membantu pelaksanaan pembangunan masyarakat desa, transmigrasi, dan program-program pembangunan mental dan material lainnya. CBP dibentuk sebagai organ di bawah PP IPNU dan PP IPPNU yang merupakan barisan serba guna dalam soal keamanan dan pembangunan.

Pada akhir bulan Juli hingga Agustus 1965 dilangsungkan pemusatan latihan (Training Center, TC) untuk komandan-komandan cabang dan daerah CBP di Cebongan, Yogyakarta. TC ini diikuti oleh sukarelawan/wati dari IPNU-IPPNU. Selama sepuluh hari kader-kader CBP ditempa jasmani dan rohaninya agar menjadi pemimpin yang bertanggung jawab. Materi indoktrinasi diberikan secara langsung oleh beberapa menteri yaitu Jenderal Chaerul Saleh, Dr. K.H. Idham Khalid, Ipik Gandamana, H.A. Syaichu. Sedangkan materi tertulis diberikan pula oleh panglima ketiga angkatan, AD, AL dan AU serta beberapa menteri departemen Kabinet Kerja. Pemusatan ini seakan-akan menanggapi latihan-latihan intensif yang dilakukan PKI terhadap kader-kader mudanya yang tergabung dalam Pemuda Rakyat (PR) dan Gerwani di sekitar Lubang Buaya, Jakarta sekitar bulan Juli-Agustus 1965. Tidak heran jika perhatian yang diberikan oleh para pejabat tinggi negara, khususnya dari kalangan militer, tampak sangat antusias. NU dalam catatan pemerintah saat itu adalah partai politik yang memiliki jumlah anggota yang terbesar di 20 Dati I yaitu sebanyak 522.413 orang.(32) Dalam TC ini disusun program kerja CBP sebagai tuntunan praktis yang melandasi perjuangan kader-kader IPNU-IPPNU secara ofensif revolusioner dalam mengamankan doktrin-doktrin revolusi.(33)



DRAF MATERI REKOMENDASI

tentang

POKOK-POKOK PIKIRAN DAN REKOMENDASI KONFERENSI WILAYAH XIX

IKATAN PELAJAR PUTRI NAHDLATUL ULAMA (IPPNU)

JAWA TIMUR

PENDAHULUAN

Sepanjang tahun 2004-2010 kehidupan demokrasi di Indonesia mengalami kemajuan yang cukup signifikan dengan dilangsungkannya proses pemilihan kepemimpinan secara langsung. Di tingkat nasional, untuk pertama kalinya dalam sejarah republik, rakyat Indonesia memilih sendiri presidennya secara langsung. Hal yang sama juga berlangsung di tingkat regional dan lokal dengan digelarnya pemilihan kepala daerah secara langsung.

Patut disayangkan, kemajuan kehidupan demokrasi tersebut hanya berlangsung pada tataran prosedural. Pada tataran substansial, kemajuan kehidupan demokratis belum mampu mendorong perbaikan kualitas hidup masyarakat dan peningkatan layanan publik di berbagai bidang. Di sektor pendidikan, umpamanya, perbaikan layanan publik masih belum menunjukkan gejala yang mengembirakan. Alih-alih mendorong demokratisasi kehidupan dan menciptakan kebijakan yang compatible dengan iklim desentralisasi, rezim baru hasil pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung justru cenderung mengembalikan hegemoni negara atas sektor pendidikan di berbagai lini.

Berangkat dari latar belakang tersebut dan kesadaran akan tanggungjawab moral dan sosial IPNU dalam pembentukan pola pikir (mindside), pengembangan pendidikan dan upaya mencerdaskan bangsa, Konferensi Wilayah XIX IPNU Jawa Timur menyampaikan beberapa pokok pikiran dan rekomendasi sebagai berikut :

A. Eksternal

Pendidikan.

1. Rendahnya mutu, relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan masih merupakan masalah yang mendasar dalam perkembangan pendidikan. Harus dipahami bahwa pendidikan merupakan sebuah proses jangka panjang yang yang dilakukan secara simultan dan berkelanjutan. Wajib Belajar 12 tahun sesuai amanat UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 dirasa masih adanya keberatan ditataran akar rumput (grasroot), karena keinginan untuk bersekolah di lembaga pendidikan yang berkualitas harus mengeluarkan biaya yang sangat tinggi. Oleh karena itu PW IPNU Jatim meminta kepada pemerintah untuk menerapkan sistem kebijakan pendidikan yang murah dan berkualitas yang dapat dijangkau seluruh lapisan masyarakat.

2. Penyelenggaraan Ujian Nasional atau UN saat ini telah melenceng dari semangat UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan PP 19 tahun 2005 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan ujian nasional merupakan alat evaluasi bukan sebagai penentu kelulusan siswa. Selain telah mencidrai independensi guru sebagai tenaga pendidikan dan mengintervensi otoritas sekolah sebagai lembaga pendidikan, UN menyebabkan banyak kejadian yang menarik perhatian kita, diantaranya kebocoran soal, siswa bunuh diri karena menanggung malu tidak lulus, serta berbagai intrik dari sekolah sebagai upaya membantu siswanya agar lulus UN. Kelulusan siswa seharusnya tidak ditentukan oleh ujian nasional melainkan oleh guru dan sekolah yang mengetahui secara langsung seluruh proses pembelajaran siswa. Oleh karena itu PW IPNU jatim meminta kepada Mendiknas untuk merefomulasi penyelenggaraan Ujian Nasional dan mengembalikan otoritas kelulusan siswa pada guru dan sekolah.

3. Keberhasilan sebuah lembaga pendidikan out put-nya berbanding lurus dengan proses dari pendidikan itu sendiri (input) diantaranya penyediaan fasilitas belajar gedung laboratorium, kualitas guru dan kayawan, dan sarana prasarana pendukung. Perhatian pemerintah harus merata di semua lembaga pendidikan, akan tetapi realitasnya perhatian pemerintah banyak ditujukan kepada sekolah negeri dari pada sekolah swasta sehingga terjadi kesenjangan antar keduanya, Kebijakan ini muaranya pada pelaksanaan education for all. Pemerintah dituntut adanya perlakuan yang seimbang dan lebih adil (fairness). Oleh karena itu PW IPNU Jatim mendesak kepada Pemerintah untuk lebih memperhatikan sekolah-sekolah swasta terkait pemerataan disegala bidang komponen pendidikan lebih-lebih didaerah tertinggal.

4. Diakui ataupun tidak Pendidikan Pondok Pesantren di Indonesia mampu mewarnai dinamika perkembangan Ilmu Pengetahuan, kurang lebih ada 54.000 Pondok Pesantren tersebar diseluruh Indonesia (Abdul Munir Mulkhan,2003 : 211). Banyak tokoh tokoh besar yang lahir dari Pondok Pesantren diantaranya Presiden ke-4 RI KH. Abdurahman Wahid (Alm) adalah fakta tak terbantahkan beliau adalah produk ponpes. Dan salah satu kendala lulusan atau alumni pondok pesantren tidak memilikinya ijazah dari pemerintah sehingga kerap terhambat pada pengakuan formal kususnya yang dikeluarkan oleh Negara. dan sudah saatnya pendidikan di pondok pesantren mendapatkan legal formal dari pemerintah dengan disetarakan dengan lembaga pendidikan formal yang setingkat. Karena itu PW IPNU Jatim mendesak pemerintah untuk membuat formulasi standarisasi pondok pesantren sebagai kerangka acuan bagi lulusan Pondok Pesantren memperoleh pengakuan resmi dari Pemerintah.

5. Teknologi dan informasi yang seharusnya untuk menunjang perkembangan pendidikan disalah gunakan dengan memanfaatkan media komunikasi seperti telepon, komputer, internet, email maupun jejaring sosial sebagai media untuk teror, transaksi narkoba, bahkan marak sebagai ajang bisnis prostitusi lebih-lebih banyak kaum pelajar yang jadi korban. IPNU sangat prihatin terhadap maraknya peredaran Narkoba dan tindakan asusila dikalangan pelajar yang membuat orang tua semakin resah akan keberadaan putra-putrinya di sekolah, oleh karena itu PW IPNU jatim menyerukan agar :

a. Pemerintah bersama Polri mendirikan lembaga kusus yang mengawasi jejaring di dunia maya dan memberikan sangsi tegas kepada tindak kriminalisasi di dunia maya.

b. Blokir situs-situs yang meresahkan masyarakat dan memberikan hukuman yang berat untuk memberikan efek jera bagi pelaku.

c. Masukkan kurikulum pelajaran reproduksi dan pendidikan sex dilingkungan pelajar SLTP dan SMU.

6. Secara nominal jumlah penduduk miskin itu amatlah besar, bisa mencapai 29,79 juta orang (Media Indonesia,8 Feb 2010). Rendahnya SDM karena tidak mampu melanjutkan sekolah menjadi salah satu faktor penyebabnya. Oleh karena itu DEPAG, DEPDIKNAS dan Departemen lain yang terkait harus membuka akses program beasiswa seluasnya kepada kalayak agar dapat menjaring potensi secara masif dan objektif .

Anggaran Pendidikan

1. Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. ( UU Sisdiknas Tahun 2003 pasal bab 2 ayat 3 ) sangatlah mustahil apabila tidak didukung dengan alokasi dana yang mencukupi. Alokasi pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan minimal 20 % dari APBN/APBD sebagaimana amanat Undang-undang belum dilakukan secara menyeluruh di tiap-tiap daerah, oleh karena itu PW IPNU Jatim meminta kepada pemerintah untuk memberikan teguran, peringatan bahkan sangsi kepada daerah-daerah yang belum mengalokasikan anggaran pendidikan 20 %.

2. Selanjutnya guna menciptakan akuntabilitas dan transparansi penggunaan uang negara, PW IPNU JATIM meminta kepada BPK dan KPK untuk melakukan control terhadap institusi pemerintah dan lembaga pendidikan yang menggunakan anggaran pendidikan tersebut.

HUKUM DAN HAM

1. Kasus Bail Out Bank Century yang berlarut-larut dan belum menemukan titik terang menimbulkan preseden buruk masyarakat, dan juga menimbulkan krisis kepercayaan yang menguras energi pemerintahan (ANTARA.News). oleh karena itu PW IPNU Jatim menyerukan Gerakan MUNDUR TERHORMAT bagi para Pejabat yang melakukan pelanggaran dan mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus Century.

2. Kasus-kasus seperti Prita Mulysari, Mbok Minah, atau pencurian semangka merupakan indikasi kesenjangan supremasi hukum di Indonesia, ataupun kasus fasilitas sel mewah Artalyta Suryani di Rutan Pondok Bambu. Amanat UUD 1945 pasal 27 ayat 1 menyebutkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Karena itu PW IPNU Jatim Menuntut Pemerintah dalam hal ini POLRI, KPK maupun Jaksa Agung untuk menegakkan supremasi hukum tanpa pandang bulu.