Kongres Bersama IPNU
Sudah bertahun-tahun sejak berdirinya, IPNU dan IPPNU, dua organisasi di lingkungan NU yang memiliki anggota dengan segmen usia yang sama, melaksanakan kongres secara terpisah, baik waktu maupun tempat. Hal semacam ini dipandang sebagai kontra produktif terhadap perjalanan masing-masing, mengingat penggabungan event-event yang bersifat nasional dari organisasi ini dipandang akan lebih memberikan daya tarik yang lebih besar kepada masyarakat, khususnya kepada media massa di tanah air yang saat itu sarat dengan polemik tajam antara kubu-kubu politik yang bertikai.


Perang dingin berlangsung di DPR-GR dan DPAS antara ABRI, NU dan PNI di satu sisi dengan PKI di sisi lain yang pada saat itu gencar meneriakkan Sosialisme Indonesia, Land Reform dan pembentukan Angkatan Kelima terdiri dari para petani dan buruh. Di tengah menguatnya figur Presiden Soekarno dan semakin besarnya pengaruh PKI atas kebijakan-kebijakan negara, NU melihat apapun bisa terjadi termasuk dibubarkannya organisasi berhaluan Aswaja ini. Sejak Dekrit Presiden yang disikapi secara defensif, tokoh-tokoh NU dihinggapi keprihatinan yang sangat mendalam: apakah NU masih boleh hidup atau tidak.

Mereka takut tergilas oleh Penpres no. 7 tahun 1959 dan Penpres no. 13 tahun 1960, tentang penyederhanaan partai dan syarat-syarat partai yang berhak hidup. Bahkan ada pula beberapa tokoh NU yang berpendapat agar kembali ke jam'iyah saja, mengurusi madrasah, panti asuhan, rumah sakit, pendidikan dan bidang-bidang sosial lainnya. Beberapa pengurus partai NU di daerah sampai-sampai menanyakan nasib partai NU dengan nada yang tampak frustrasi. Suasana kalut ini sangat beralasan, diantaranya mengingat NU pada awal tahun 60-an adalah kekuatan politik yang pertama kali menyatakan siap mengorbankan jiwa dan raga untuk membela kelangsungan hidup HMI yang terancam dibubarkan oleh presiden akibat hasutan CGMI.(28) Organisasi payung mahasiswa komunis ini menebar teror pengganyangan terhadap kekuatan mahasiswa yang dianggap kontra-revolusioner dan reaksioner.

Setelah sejumlah pimpinan NU menguras tenaga untuk memenuhi persyaratan sebagai partai yang berhak hidup, ditambah manuver-manuver politik yang cantik dari duet Rais 'Aam dan Ketua Umum PBNU, K.H. Abdulwahab Hasbullah dan K.H. Idham Chalid, NU berhasil ditetapkan sebagai salah satu dari 8 partai politik yang berhak hidup. Melalui penetapan presiden tanggal 15 April 1961, NU kembali melangkah dengan optimisme akan eksistensi organisasinya. Namun pada bulan-bulan penetapan itu pula terjadi pemusatan politik "poros Jakarta-Peking" yang membuat politik condong ke kiri. NU bersama kekuatan non-komunis lainnya senantiasa mengawasi langkah-langkah PKI yang betul-betul mendapat angin di bawah demokrasi terpimpin Presiden Soekarno. Melihat tindakan-tindakan politik PKI bersama seluruh underbouwnya sudah semakin keras dan berani, NU bersama seluruh badan otonom segera mengadakan konsolidasi organisasi untuk melakukan penghadangan di segala medan juang, seperti dikemukakan K.H. Saifuddin Zuhri:
"Perlawanan NU terhadap PKI dilakukan di semua medan juang. PKI menggerakkan massanya, NU mengorganisasi pemuda Ansor menjadi 'Banser' yang lebih militan. PKI menggerakkan Lekranya, NU mengaktifkan Lesbuminya. PKI menyanyikan lagu 'Genjer-Genjer' yang penuh hasutan dan sindiran, NU mengobarkan bacaan 'Shalawat Badar'..."(29)

Di tengah-tengah suasana politik yang semakin panas, IPNU-IPPNU bertekad untuk berdiri di belakang PBNU melakukan konsolidasi internal dengan mengadakan kongres secara bersama-sama di Purwokerto. Kongres V IPNU dan kongres IV IPPNU yang berlangsung pada bulan Juli 1963 berhasil memilih masing-masing Asnawi Latif dan Farida Mawardi sebagai ketua umum. Sedangkan sekjen terpilih IPPNU adalah Machsanah. Kongres Purwokerto ini menandai awal kerja paralel IPNU-IPPNU dalam setiap kongres dan konbes di masa-masa berikutnya. Pada kongres Purwokerto ini, khususnya di kalangan delegasi IPNU, usulan tentang pengubahan nama organisasi IPNU, termasuk penanggalan "NU" dalam nama organisasi masih disuarakan oleh beberapa peserta. Sehubungan dengan hal tersebut, maka kongres akhirnya memunculkan "Ikrar Bersama" anggota IPNU untuk tidak akan pernah mengubah nama "Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama" disingkat IPNU untuk selama-lamanya.(30)

Pada masa bakti 1963-1966 ini terjadi pemindahan sekretariat PP IPPNU dari Surakarta ke Yogyakarta. Sekretariat IPPNU yang semula di Jl. Imam Bonjol no. 35 (dulu Keprabon Wetan), Surakarta secara berangsur-angsur dipindahkan ke Jl. Gandekan Lor 45, Yogyakarta. Pada periode ini perluasan dan pembinaan cabang-cabang di luar Jawa masih diteruskan, diantaranya tourne ke Jambi dan Lampung. Untuk kelancaran komunikasi organisasi, diterbitkan pula majalah "Kartikawati" oleh Departemen Dakwah dan Penerangan yang berisi agenda kegiatan IPPNU. Dari sekian banyak, program kerja paling menonjol adalah pengusahaan beasiswa untuk segenap kader IPPNU, mengingat situasi ekonomi akibat kebijakan politik sedemikian parah.

Kebijakan politik mercusuar yang dicanangkan Presiden Soekarno dengan Nefo-Oldefo yang menemui puncaknya di Indonesia dengan diadakan Ganefo (Game of The New Emerging Forces), memaksa dicetaknya uang secara tidak terkendali. Harga seluruh kebutuhan pokok mengalami kenaikan tajam dan inflasi meroket hingga di atas 600 %. Antrian panjang kebutuhan pokok menjadi pemandangan sehari-hari di jalan-jalan, sementara rakyat dicekoki dengan agitasi menentang neo-kolonialisme dan imperialisme yang secara terus-menerus dikumandangkan melalui media cetak dan elektronik. Keadaan ini dimanfaatkan oleh PKI untuk semakin memperluas jaringan dan kekuatan massanya ke seluruh pelosok tanah air. Pada tahun 1964, PKI dan seluruh kekuatan komunis dalam melakukan aksi-aksinya semakin kasar, keras, dan radikal. Gerakan yang terkenal dengan "Aksi Sepihak" ini dilakukan oleh kader-kader Barisan Tani Indonesia (BTI) dengan secara sepihak memaksa pembagian tanah dan hasil pertanian kepada petani-petani di berbagai desa khususnya di Jawa. Kenyataan ini membuat perlawanan dari kekuatan politik lain, khususnya NU semakin keras. Kekuatan NU terdiri dari Pertanu, Lesbumi, Sarbumusi, Fatayat, Muslimat, IPNU, IPPNU, PMII dan Pemuda Ansor bersama Bansernya telah disiapkan oleh PBNU melalui instruksi-instruksi harian untuk menghadapi kemungkinan terburuk, yaitu pemberontakan PKI. Kewaspadaan ini bukan tidak beralasan, mengingat sejak berdiri, PKI sudah pernah mengadakan pemberontakan bersenjata kepada Republik Indonesia melalui "Madiun Affair" pada tahun 1948.

Konsolidasi IPNU-IPPNU sendiri dilakukan dengan mengadakan konperensi besar di Pekalongan, Jawa Tengah. Konbes III IPNU dan konbes I IPPNU -yang dilaksanakan bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda itu- menelurkan "Doktrin Pekalongan" yang memberikan landasan idiil, khususnya butir 4, bagi IPNU-IPPNU untuk segera melakukan aktualisasi perjuangannya, ketimbang hanya sekedar mengeluarkan seruan, resolusi, deklarasi, dan konsepsi ideal lain. Melalui doktrin itu, IPNU-IPPNU menegaskan bahwa Pancasila bukan hanya sekedar alat pemersatu tetapi juga merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia yang memiliki kedudukan jauh lebih tinggi daripada Manifesto Komunis maupun Declaration of Independence.

Konbes juga menjawab isu yang sempat berkembang mengenai disatukannya keorganisasian IPNU dan IPPNU. Disebutkan dalam doktrin tersebut:

... bahwa perpisahan organisasi antara IPNU dan IPPNU bukanlah suatu faktor yang dapat dijadikan sebab kemacetan dan terhambatnya perkembangan kedua organisasi dalam segala aspeknya, bahkan menunjukkan progresivitas dan emansipasi yang dibenarkan, yang oleh karenanya mengadakan peleburan dalam artian fusi dari kedua organisasi tersebut dipandang sangat tidak perlu dan tidak dibenarkan, di samping itu mengadakan integrasi dalam artian kerja sama perlu diintensifkan.(31)

Doktrin tertanggal 28 Oktober 1964 itu dideklarasikan bersama oleh IPNU dan IPPNU, masing-masing diwakili oleh Asnawi Latief dan Farida Mawardi yang menjabat sebagai ketua umum. Hasil yang nyata dari doktrin tersebut adalah dibentuknya "Corps Brigade Pembangunan" (CBP) yang bertugas menghimpun putra-putri NU untuk membantu pelaksanaan pembangunan masyarakat desa, transmigrasi, dan program-program pembangunan mental dan material lainnya. CBP dibentuk sebagai organ di bawah PP IPNU dan PP IPPNU yang merupakan barisan serba guna dalam soal keamanan dan pembangunan.

Pada akhir bulan Juli hingga Agustus 1965 dilangsungkan pemusatan latihan (Training Center, TC) untuk komandan-komandan cabang dan daerah CBP di Cebongan, Yogyakarta. TC ini diikuti oleh sukarelawan/wati dari IPNU-IPPNU. Selama sepuluh hari kader-kader CBP ditempa jasmani dan rohaninya agar menjadi pemimpin yang bertanggung jawab. Materi indoktrinasi diberikan secara langsung oleh beberapa menteri yaitu Jenderal Chaerul Saleh, Dr. K.H. Idham Khalid, Ipik Gandamana, H.A. Syaichu. Sedangkan materi tertulis diberikan pula oleh panglima ketiga angkatan, AD, AL dan AU serta beberapa menteri departemen Kabinet Kerja. Pemusatan ini seakan-akan menanggapi latihan-latihan intensif yang dilakukan PKI terhadap kader-kader mudanya yang tergabung dalam Pemuda Rakyat (PR) dan Gerwani di sekitar Lubang Buaya, Jakarta sekitar bulan Juli-Agustus 1965. Tidak heran jika perhatian yang diberikan oleh para pejabat tinggi negara, khususnya dari kalangan militer, tampak sangat antusias. NU dalam catatan pemerintah saat itu adalah partai politik yang memiliki jumlah anggota yang terbesar di 20 Dati I yaitu sebanyak 522.413 orang.(32) Dalam TC ini disusun program kerja CBP sebagai tuntunan praktis yang melandasi perjuangan kader-kader IPNU-IPPNU secara ofensif revolusioner dalam mengamankan doktrin-doktrin revolusi.(33)


4 komentar to "SEJARAH PERJUANGAN IPPNU"

Posting Komentar